Commons Sight – Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan PMK 37 Tahun 2025. Aturan ini menegaskan bahwa marketplace wajib memungut pajak penghasilan (PPh) dari pedagang yang berjualan secara online. Meski demikian, Direktur DJP Hestu Yoga Saksama menekankan bahwa ini bukanlah jenis pajak baru. Pemerintah lewat Kementerian Keuangan hanya mengubah skema pemungutannya agar lebih efisien.
Seiring dengan pertumbuhan digital, sistem perpajakan pun harus menyesuaikan diri. Oleh karena itu, pemerintah menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut pajak. Dengan cara ini, proses penghitungan dan penyetoran pajak menjadi lebih sederhana dan transparan.
“Baca juga: Siloam Hospitals Terima Kunjungan Delegasi Swedia, Bahas Kolaborasi Inovasi Kesehatan“
Penting diketahui bahwa pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh. Hal ini tetap berlaku meskipun mereka berdagang di marketplace. Artinya, UMKM kecil masih tetap dilindungi oleh negara melalui kebijakan pajak yang ringan.
Selanjutnya, bagi pelaku usaha yang memiliki omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, akan dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5%. Tarif ini sudah diatur dalam PP 55/2022. Sementara itu, pelaku usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar harus membayar pajak dengan skema tarif normal dan wajib membuat pembukuan lengkap.
Sebelumnya, pedagang online harus menghitung dan menyetor sendiri pajaknya. Kini, proses tersebut akan dilakukan langsung oleh pihak marketplace. Dengan demikian, beban administratif berkurang dan pelaku usaha dapat fokus pada pengembangan bisnis mereka.
Menurut DJP, aturan ini diterapkan agar ada keadilan antara pelaku usaha offline dan online. Selama ini, pelaku usaha offline lebih mudah diawasi. Namun, pelaku usaha online cenderung sulit dipantau. Maka dari itu, sistem baru ini diharapkan menciptakan ekosistem pajak yang lebih seimbang.