Commons Sight – Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan mengalami lonjakan signifikan sepanjang kuartal pertama 2025. Data menunjukkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena ini menjadi indikator kuat bahwa gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin meluas. Pemerintah, dunia usaha, dan serikat buruh mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap tren ini. Banyak pihak mendesak tindakan cepat demi mencegah dampak lebih besar pada ekonomi nasional.
Sektor manufaktur menjadi penyumbang tertinggi dalam klaim JKP. Perusahaan tekstil dan elektronik melaporkan penurunan pesanan sejak akhir 2024. Kondisi ini memaksa banyak pabrik mengurangi kapasitas produksi dan tenaga kerja. Sektor transportasi dan logistik juga terdampak akibat perlambatan perdagangan global. Beberapa perusahaan startup bahkan melakukan efisiensi besar-besaran karena tekanan pendanaan. Situasi ini menciptakan efek domino ke berbagai sektor lainnya. Termasuk perhotelan, retail, dan jasa keuangan.
“Baca Juga : Bulog Karawang Sukses Serap 136% Gabah: Dukungan Penuh untuk Petani”
BPJS Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 45.000 klaim JKP baru hingga Maret 2025. Angka ini naik hampir 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan ini tidak hanya terjadi di wilayah industri padat seperti Jawa Barat dan Banten. Daerah seperti Kalimantan Timur dan Sumatra Utara juga mengalami kenaikan. Ini menunjukkan bahwa persoalan PHK mulai meluas ke luar Jawa. Data ini juga menjadi alarm bagi stabilitas ketenagakerjaan nasional. Pemerintah didesak segera bertindak.
Beberapa faktor utama menjadi penyebab gelombang PHK. Melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan penurunan penjualan barang dan jasa. Tekanan global seperti konflik geopolitik dan pelemahan mata uang turut memperburuk situasi. Biaya produksi yang meningkat tajam juga jadi alasan banyak pengusaha mengurangi pegawai. Selain itu, otomatisasi dan digitalisasi mendesak perusahaan mengubah struktur tenaga kerja. Kombinasi faktor ini menciptakan kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi buruh. Terutama di sektor dengan margin keuntungan rendah.
“Simak juga: Egg Freezing Jadi Tren Baru di Kalangan Perempuan”
Pemerintah menyatakan sedang menyiapkan berbagai langkah penanggulangan. Program padat karya akan diperluas untuk menampung tenaga kerja terdampak. Pelatihan ulang atau reskilling juga diperbanyak melalui Balai Latihan Kerja. Dana JKP akan dikucurkan lebih cepat bagi yang memenuhi syarat administratif. Kementerian Tenaga Kerja menyatakan bahwa langkah pencegahan PHK akan diperkuat. Termasuk lewat negosiasi tripartit antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Namun, efektivitas kebijakan ini masih menunggu realisasi di lapangan.
Meski jumlah klaim meningkat, masih banyak kendala penyaluran dana. Banyak pekerja belum melengkapi dokumen yang diperlukan untuk klaim. Sebagian perusahaan juga tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program JKP. Hal ini menyebabkan penundaan pencairan yang berdampak pada keuangan rumah tangga. BPJS diminta mempercepat verifikasi tanpa mengabaikan akurasi. Pemerintah juga diminta memperluas edukasi tentang hak pekerja terhadap JKP. Transparansi dan efisiensi birokrasi menjadi hal krusial saat kondisi darurat ketenagakerjaan ini terjadi.
Serikat pekerja semakin vokal dalam menyuarakan perlindungan yang lebih kuat. Mereka menuntut moratorium PHK massal dan pemberian insentif kepada perusahaan yang mempertahankan karyawan. Selain itu, serikat juga meminta audit terhadap perusahaan yang melakukan PHK besar-besaran. Menurut mereka, banyak pengusaha justru memanfaatkan situasi untuk efisiensi. Serikat juga mendesak pemerintah segera mengesahkan aturan turunan dari UU Cipta Kerja. Regulasi yang jelas dibutuhkan agar pekerja tidak selalu jadi korban pertama saat krisis.