7 Alasan Orang Melakukan Flexing di Media Sosial Menurut Psikolog, Tak Selalu Sekadar Pamer
Commons Sight – Flexing atau kebiasaan memamerkan harta, pencapaian, dan gaya hidup mewah di media sosial semakin sering ditemui. Dari unggahan liburan ke luar negeri hingga koleksi barang branded, fenomena ini menjadi bagian dari budaya digital. Namun, menurut psikolog, flexing tidak selalu identik dengan pamer semata. Ada alasan psikologis dan sosial yang melatarbelakanginya.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menjelaskan bahwa banyak orang menggunakan flexing sebagai sarana mengekspresikan identitas. Media sosial menjadi ruang untuk menunjukkan siapa diri mereka melalui barang, pengalaman, atau pencapaian tertentu. Dengan begitu, flexing bisa dianggap sebagai cara memperkuat jati diri di mata publik.
Baca Juga : Denny Sumargo Dikritik Netizen Usai Pilih Nuansa Merah Putih, Bukan Hijau Pink
Flexing juga dapat menjadi bentuk apresiasi terhadap diri sendiri. Bagi sebagian orang, memamerkan pencapaian adalah cara untuk merayakan hasil kerja keras. Unggahan tersebut tidak selalu bertujuan menyombongkan diri, melainkan untuk menunjukkan rasa bangga atas perjalanan yang telah dilalui.
Lebih lanjut, Fionna menyebut flexing kerap dipakai sebagai strategi self-branding. Melalui unggahan tertentu, seseorang ingin dikenal sebagai individu sukses atau profesional di bidang tertentu. Hal ini dapat meningkatkan reputasi sekaligus memperluas peluang di dunia personal maupun karier.
Tidak jarang flexing digunakan untuk menginspirasi orang lain. Seorang pengusaha atau pekerja kreatif, misalnya, memperlihatkan hasil kerja mereka sebagai bukti bahwa profesi yang digeluti bisa membawa kesuksesan. Dalam konteks ini, flexing menjadi alat motivasi, bukan sekadar pamer harta.
Flexing tidak melulu bersifat materialistik. Terkadang, flexing memperlihatkan sisi kemandirian dan pola pikir seseorang. Dengan menampilkan pencapaian hidup, individu ingin menegaskan dirinya sebagai sosok yang mandiri dan berhasil. Hal ini menjadi bentuk komunikasi non-verbal yang kuat di dunia maya.
Dari sisi psikologis, flexing juga bisa muncul karena kebutuhan akan validasi. Saat seseorang tidak merasa cukup dihargai di lingkungannya, mereka beralih ke media sosial untuk mencari pengakuan. Likes dan komentar positif pun menjadi bentuk apresiasi eksternal yang mereka butuhkan.
Selain validasi, flexing kadang menjadi cara untuk membangun kembali kepercayaan diri. Dengan membagikan pencapaian, seseorang merasa lebih dihargai. Pujian dan perhatian yang diterima dapat menjadi suntikan semangat yang mungkin tidak mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena flexing tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Bagi sebagian orang, ini adalah ekspresi diri dan kebanggaan. Namun bagi yang lain, flexing adalah cara untuk membangun citra atau memenuhi kebutuhan psikologis akan validasi. Keseimbangan menjadi kunci agar flexing tidak menjebak seseorang dalam ketergantungan terhadap pengakuan orang lain.