Commons Sight – Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA kembali menempati posisi teratas sebagai penyakit yang paling banyak diderita karyawan Indonesia pada 2025. Temuan ini muncul dari riset Mercer Marsh Benefits Indonesia yang memotret tren kesehatan pekerja lintas sektor. Selama tiga tahun berturut-turut, ISPA konsisten mendominasi klaim rawat jalan. Bahkan, proporsinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa ISPA bukan sekadar penyakit musiman. Sebaliknya, ia telah menjadi masalah kesehatan kerja yang kronis. Di balik angka-angka tersebut, tersimpan cerita tentang pekerja yang tetap beraktivitas meski tubuh memberi sinyal lelah. Oleh karena itu, data ini menjadi pengingat bahwa kesehatan pernapasan masih menjadi tantangan besar di dunia kerja modern Indonesia.
Angka Kasus Terus Naik dalam Tiga Tahun Terakhir
Riset Indonesia Health and Benefits Study 2025 melibatkan lebih dari 400 perusahaan dari 25 industri dengan total 500.000 peserta. Hasilnya menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada 2025, ISPA menyumbang sekitar 27,1 persen dari total klaim rawat jalan karyawan. Angka ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 20 persen. Kenaikan tersebut menandakan bahwa upaya pencegahan belum berjalan optimal. Selain itu, pola kerja yang padat dan mobilitas tinggi turut memperbesar risiko. Banyak karyawan tetap masuk kerja meski mengalami gejala ringan. Akibatnya, penyakit mudah menyebar dan sulit dikendalikan. Dengan demikian, data ini tidak hanya mencerminkan kondisi medis, tetapi juga budaya kerja yang masih abai pada kesehatan.
“Baca Juga : Apakah Diet Keto Cocok untuk Semua Orang? Ini Kata Dokter“
Polusi dan Gaya Hidup Jadi Pemicu Utama
Tingginya kasus ISPA tidak terjadi tanpa sebab. Menurut para peneliti, faktor lingkungan dan gaya hidup memainkan peran besar. Kebiasaan merokok yang masih tinggi, paparan alergen, serta polusi udara menjadi kombinasi yang berbahaya. Setiap hari, pekerja terpapar asap kendaraan, debu jalanan, dan udara kotor selama perjalanan. Selain itu, ruang kerja tertutup dengan ventilasi minim memperburuk kondisi. Transisi musim juga kerap memicu gangguan pernapasan. Akibatnya, daya tahan tubuh menurun dan ISPA mudah menyerang. Jika kondisi ini dibiarkan, risiko komplikasi paru-paru bisa meningkat. Karena itu, masalah ISPA tidak bisa dilepaskan dari kualitas lingkungan dan kebiasaan hidup sehari-hari.
ISPA Bukan Penyakit Ringan Jika Diabaikan
Meski sering dianggap penyakit umum, ISPA dapat berkembang menjadi gangguan serius bila tidak ditangani dengan baik. Pada banyak kasus, gejala awal seperti batuk dan pilek sering diabaikan. Namun, tanpa penanganan tepat, infeksi bisa menjalar ke paru-paru. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga produktivitas kerja. Karyawan menjadi mudah lelah, sulit fokus, dan rentan absen. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat meningkatkan biaya kesehatan perusahaan. Oleh sebab itu, deteksi dini menjadi kunci. Ketika gejala muncul, penanganan cepat dapat mencegah eskalasi penyakit. Dengan kata lain, kesadaran sejak awal mampu melindungi karyawan dari risiko yang lebih besar.
“Baca Juga : Diet Vegan untuk Pemula: Sumber Protein Nabati yang Wajib Dicoba“
Peran Perusahaan dalam Menjaga Kesehatan Pernapasan
Perusahaan memegang peran penting dalam menekan angka ISPA di lingkungan kerja. Dukungan tidak cukup hanya melalui asuransi kesehatan. Lebih dari itu, perusahaan perlu menghadirkan program preventif yang berkelanjutan. Misalnya, kampanye berhenti merokok, edukasi gaya hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan rutin. Selain itu, penyediaan fasilitas pendukung seperti air purifier dan ventilasi yang baik sangat membantu. Lingkungan kerja yang sehat menciptakan rasa aman bagi karyawan. Ketika perusahaan hadir sebagai pelindung kesehatan, loyalitas dan produktivitas pun meningkat. Dengan demikian, investasi di bidang kesehatan bukan beban, melainkan langkah strategis jangka panjang.
Fleksibilitas Kerja untuk Menekan Penularan
Kebijakan kerja fleksibel menjadi salah satu solusi efektif menekan penyebaran ISPA. Ketika karyawan mengalami gejala, bekerja dari rumah memberi ruang pemulihan tanpa tekanan. Selain itu, kebijakan ini mencegah penularan di kantor. Di era kerja modern, fleksibilitas bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan. Perusahaan yang adaptif mampu menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan. Dengan memberi kepercayaan pada karyawan untuk beristirahat saat sakit, perusahaan turut membangun budaya kerja yang lebih manusiawi. Pada akhirnya, langkah kecil ini dapat membawa dampak besar bagi kesehatan kolektif tenaga kerja Indonesia.