Commons Sight – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pertumbuhan kredit pada Juli 2025 hanya tumbuh sebesar 7,03 persen year-on-year (yoy). Angka ini menunjukkan perlambatan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, bahkan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Perlambatan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan nyata dari kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum pulih sepenuhnya. Pertumbuhan kredit yang melambat berarti aktivitas ekonomi, baik dari sisi konsumsi rumah tangga maupun ekspansi usaha, belum bergerak secepat yang diharapkan. Di sisi lain, perlambatan ini terjadi merata di seluruh segmen, mulai dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor ritel, hingga industri besar. Hal tersebut menandakan adanya faktor struktural yang lebih serius. Oleh karena itu, banyak ekonom menilai bahwa kinerja kredit yang melempem ini menjadi sinyal kuat bahwa ekonomi Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk keluar dari fase lesu.
“Baca juga: AHY Resmikan Koperasi Kelurahan Merah Putih di Madiun“
Perlambatan pertumbuhan kredit tentu tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kondisi ini. Pertama, daya beli masyarakat yang masih tertahan akibat inflasi serta tingginya harga kebutuhan pokok. Kedua, sektor dunia usaha yang menahan ekspansi karena ketidakpastian global, termasuk fluktuasi harga komoditas dan ketegangan geopolitik. Selain itu, tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia juga menjadi penghambat, karena membuat biaya pinjaman lebih mahal bagi pelaku usaha maupun rumah tangga. Di sisi lain, perbankan juga lebih selektif dalam menyalurkan kredit untuk meminimalisasi risiko kredit macet. Dengan kombinasi faktor eksternal dan internal ini, laju pertumbuhan kredit pada Juli 2025 pun ikut tertekan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa stabilitas ekonomi belum sepenuhnya terjaga, sehingga langkah strategis pemerintah dan otoritas keuangan sangat dibutuhkan untuk mengatasi perlambatan ini.
UMKM merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sayangnya, sektor ini juga terkena dampak dari melempemnya kinerja kredit. Perlambatan penyaluran kredit membuat pelaku UMKM kesulitan mendapatkan modal kerja tambahan. Akibatnya, banyak usaha mikro dan kecil menahan produksi, mengurangi tenaga kerja, bahkan sebagian terpaksa menghentikan operasional. Kondisi ini tentu menambah tekanan pada perekonomian karena berpengaruh langsung pada daya beli masyarakat. Padahal, UMKM memiliki peran vital dalam menjaga perputaran ekonomi di daerah. Tanpa dukungan pembiayaan yang memadai, sulit bagi sektor ini untuk berkembang atau bertahan menghadapi tantangan pasar. Oleh karena itu, perlambatan kredit pada UMKM bukan hanya masalah sektor keuangan, tetapi juga persoalan yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Selain UMKM, sektor industri dan perdagangan juga ikut terdampak perlambatan kredit. Perusahaan besar yang biasanya memanfaatkan kredit untuk ekspansi produksi kini lebih berhati-hati. Banyak industri menunda investasi baru karena beban biaya yang meningkat, terutama akibat suku bunga pinjaman yang lebih tinggi. Hal ini berimbas pada rantai pasok dan aktivitas perdagangan, yang akhirnya ikut melambat. Tidak hanya itu, kinerja ekspor juga masih menghadapi tekanan dari pelemahan permintaan global, terutama dari mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Amerika Serikat. Kondisi ini menciptakan lingkaran yang saling memengaruhi: sektor industri menahan ekspansi karena permintaan lemah, sementara permintaan domestik juga melambat karena daya beli masyarakat tertekan. Dengan demikian, perlambatan kredit semakin memperjelas bahwa tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia bersifat multidimensi dan memerlukan intervensi kebijakan yang tepat.
OJK bersama pemerintah tentu tidak tinggal diam melihat perlambatan pertumbuhan kredit ini. Beberapa langkah telah diambil untuk mendorong penyaluran kredit tetap berjalan. OJK, misalnya, memberikan relaksasi regulasi pada sektor-sektor tertentu yang dinilai masih memiliki potensi pertumbuhan. Pemerintah juga berupaya mempercepat penyaluran kredit melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga yang lebih rendah. Namun, kebijakan ini masih perlu dikawal agar benar-benar sampai ke pelaku usaha kecil yang membutuhkan. Di sisi lain, koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal juga sangat penting. Kebijakan suku bunga Bank Indonesia harus sinkron dengan stimulus fiskal pemerintah agar tidak menimbulkan kontradiksi. Dengan strategi yang lebih terarah, diharapkan perlambatan kredit bisa segera diatasi, meskipun jalan menuju pemulihan ekonomi penuh masih panjang.
“Baca selengkapnya: Gejala Cacingan pada Orang Dewasa yang Jarang Disadari“
Melihat tren pertumbuhan kredit yang melempem, para analis memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia masih akan menghadapi tekanan hingga akhir tahun 2025. Pertumbuhan ekonomi diprediksi bergerak di kisaran moderat, tidak setinggi yang ditargetkan pemerintah. Sektor konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi pendorong utama juga diperkirakan belum pulih sepenuhnya karena inflasi dan ketidakpastian ekonomi global. Di sisi lain, investasi swasta diperkirakan tetap tertahan akibat rendahnya kepercayaan pelaku usaha. Meskipun demikian, ada optimisme bahwa sektor tertentu seperti teknologi digital, energi terbarukan, dan pariwisata masih bisa menjadi penopang pertumbuhan. Dengan strategi kebijakan yang tepat, pemerintah bisa memanfaatkan momentum dari sektor-sektor tersebut untuk menjaga stabilitas ekonomi. Namun, jika perlambatan kredit terus berlanjut, maka pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin sulit diwujudkan.
Perlambatan pertumbuhan kredit pada Juli 2025 menjadi sinyal bahwa ekonomi Indonesia masih lesu. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah mendasar, mulai dari daya beli masyarakat yang lemah hingga kehati-hatian dunia usaha dalam berekspansi. Dampaknya terasa luas, terutama pada UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sektor industri dan perdagangan pun tidak lepas dari tekanan, sehingga pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat. OJK dan pemerintah telah mengambil langkah, namun efektivitas kebijakan perlu terus dipantau. Dibutuhkan strategi komprehensif yang mampu mendorong pertumbuhan kredit sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan dukungan masyarakat, Indonesia diharapkan bisa keluar dari fase lesu dan kembali pada jalur pertumbuhan yang lebih kuat di masa mendatang.