Commons Sight – Dolar kembali melemah terhadap rupiah, yang menguat signifikan setelah gencatan senjata di Timur Tengah semakin jelas. Dampak dari perkembangan geopolitik ini dapat dirasakan di pasar mata uang global, di mana rupiah menunjukkan kekuatan yang solid. Berdasarkan data dari Refinitiv, pada Kamis (28/11/2024) pukul 10:13 WIB, rupiah tercatat menguat 0,5% dan diperdagangkan pada angka Rp15.845 per dolar AS. Angka ini menunjukkan penguatan yang cukup signifikan bagi rupiah, yang sebelumnya berada pada level yang lebih tinggi.
Pergerakan mata uang ini dipengaruhi oleh situasi yang semakin mereda di Timur Tengah. Ketegangan yang terjadi antara Israel dan Hizbullah, serta konflik yang lebih besar dengan Hamas dan Iran. Ini menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi fluktuasi pasar keuangan global. Dengan adanya kabar bahwa gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah akan mulai berlaku pada Rabu (27/11/2024), pasar merespons positif, termasuk terhadap mata uang rupiah.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengonfirmasi bahwa gencatan senjata akan diberlakukan pada pukul 4:00 pagi waktu setempat. Keputusan ini didukung oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyatakan bahwa gencatan senjata dengan Hizbullah memberi peluang bagi Israel untuk lebih fokus pada pertempuran melawan Hamas dan Iran. Kondisi ini secara langsung menurunkan ketegangan geopolitik yang mempengaruhi pasar global, termasuk pasar mata uang.
“Baca juga: Ekonomi RI di Balik Wacana Kenaikan Pajak Menjadi 12 Persen”
Meski rupiah menguat, indeks dolar AS (DXY) justru menunjukkan penguatan tipis. Pada perdagangan pagi ini, DXY tercatat naik 0,08% di angka 106,17, sedikit lebih tinggi dibandingkan penutupan sebelumnya yang berada pada angka 106,08. Meski demikian, penguatan indeks dolar ini terbilang marginal, dan dampaknya terhadap rupiah cenderung lebih terbatas.
Kenaikan indeks dolar ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, termasuk data ekonomi AS yang terus dipantau oleh investor global. Meskipun DXY menguat sedikit, namun penguatan rupiah jauh lebih signifikan, mencerminkan optimisme pasar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia dan pengaruh positif dari perkembangan di Timur Tengah.
Keputusan gencatan senjata yang disepakati oleh pemerintah Israel dan Hizbullah membawa dampak positif bagi pasar keuangan. Terutama di kawasan Asia dan negara berkembang seperti Indonesia. Ketegangan yang mereda di kawasan Timur Tengah mengurangi kekhawatiran investor global terhadap risiko geopolitik yang dapat mengganggu kestabilan pasar. Dalam situasi ini, aset-aset di negara berkembang, termasuk rupiah, mendapatkan aliran investasi yang lebih besar, yang pada gilirannya menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Berdasarkan analisis pasar, pergerakan harga mata uang dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, dan perkembangan geopolitik adalah salah satu yang paling signifikan. Ketika ketegangan mereda, investor cenderung kembali ke pasar negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Sebagai hasilnya, mata uang Indonesia berhasil terapresiasi terhadap dolar AS, yang mengalami sedikit pelemahan.
“Simak juga: Dampak Perang Dagang Trump-China: 4 Ancaman untuk Ekonomi Indonesia”
Pelemahan dolar ini bukan hanya sekadar hasil dari faktor domestik Indonesia, tetapi juga dampak dari perkembangan politik global. Ketika situasi di Timur Tengah mulai stabil, pasar merespons dengan membeli aset-aset yang lebih berisiko, termasuk rupiah. Pasar saham Indonesia, yang juga dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah, bisa memperoleh keuntungan dari stabilitas ini. Hal ini membuatnya menjadi daya tarik bagi investor asing.
Dengan gencatan senjata yang semakin jelas dan stabilitas yang mulai terlihat di kawasan Timur Tengah, situasi ini memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan global. Rupiah, sebagai salah satu mata uang negara berkembang, mendapatkan keuntungan dari momentum ini. Diperkirakan akan terus menunjukkan penguatan seiring dengan meredanya ketegangan global.