Commons Sight – Kabar memilukan datang dari India. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan keras setelah sedikitnya 20 anak meninggal dunia akibat konsumsi obat batuk beracun. Tragedi ini kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap industri farmasi India, yang selama ini dikenal sebagai salah satu produsen obat generik terbesar di dunia. Menurut laporan BBC, kematian tersebut terjadi di negara bagian Madhya Pradesh dan Rajasthan, di mana tiga merek sirup batuk terbukti mengandung dietilen glikol (DEG), zat kimia beracun yang biasa ditemukan dalam pelarut industri.
“Baca juga: Aroma Harapan di Tengah Malam: Cerita dari Dapur SPPG Lanud Suryadarma, Subang“
WHO menyoroti adanya kesenjangan besar dalam regulasi keamanan obat di India. Sistem pengawasan yang longgar membuat produk berbahaya masih bisa beredar di pasaran tanpa pengujian menyeluruh. Bahkan, WHO memperingatkan bahwa sirup batuk beracun ini berpotensi menyebar ke negara lain melalui saluran distribusi tidak resmi. Celah ini memperlihatkan bahwa meski India menjadi pemasok obat terbesar untuk negara berkembang, aspek keamanannya masih jauh dari ideal. Dalam konteks globalisasi industri kesehatan, situasi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam mengenai transparansi, integritas, dan tanggung jawab produsen obat di negara tersebut.
Setelah tragedi mencuat, otoritas India langsung mengambil langkah tegas. Pemilik perusahaan farmasi yang memproduksi sirup terkontaminasi telah ditangkap, dan semua lini produksinya dihentikan untuk penyelidikan. Pemerintah juga mengirimkan tim investigasi khusus ke pabrik-pabrik terkait guna menilai sejauh mana pelanggaran dilakukan. Meski demikian, tindakan cepat ini dianggap reaktif, bukan preventif. Seharusnya, pengawasan kualitas dilakukan jauh sebelum obat beredar di pasaran. Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi otoritas kesehatan India yang selama ini berusaha memperkuat reputasi negaranya sebagai pusat manufaktur farmasi dunia.
Hasil inspeksi Departemen Pengendalian Obat Tamil Nadu terhadap pabrik Sresan Pharmaceuticals, salah satu produsen sirup beracun tersebut, memunculkan fakta yang mengejutkan. Terdapat 364 pelanggaran aturan manufaktur, di mana 39 di antaranya dikategorikan sangat serius. Temuan ini mencakup masalah seperti staf tidak berkualifikasi, penggunaan air dan peralatan yang tidak steril, hingga pembuangan limbah tanpa pemurnian. Bahkan, laporan menunjukkan bahwa air untuk produksi disimpan secara tidak higienis dan produk jadi diletakkan di area yang sangat kotor. Fakta-fakta ini memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan di lapangan dan buruknya penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) dalam industri obat-obatan India.
Tiga merek yang dikonfirmasi mengandung zat beracun DEG adalah Coldrif (Sresan Pharmaceuticals), Respifresh (Rednex Pharmaceuticals), dan ReLife (Shape Pharma). Ketiganya kini telah dilarang beredar di berbagai negara bagian India. Beberapa wilayah bahkan mengambil langkah ekstrem dengan melarang seluruh sirup batuk untuk anak di bawah dua tahun. Polisi juga menangkap G. Ranganathan, pemilik Sresan Pharmaceuticals berusia 73 tahun, dan mencabut lisensi perusahaannya secara permanen. Selain itu, seorang dokter bernama Praveen Soni yang meresepkan sirup Coldrif juga ikut diamankan karena diduga lalai.
Ini bukan pertama kalinya India tersandung kasus serupa. Pada tahun 2023, sirup batuk yang terkontaminasi dietilen glikol dari India dikaitkan dengan kematian 70 anak di Gambia dan 18 anak di Uzbekistan. Kasus tersebut sempat mengundang kemarahan internasional dan menurunkan reputasi India di sektor farmasi global. Tragedi berulang ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pengawasan produksi obat di India benar-benar berjalan? Dalam perspektif etika kesehatan global, peristiwa ini tidak hanya mencerminkan kelalaian teknis, tetapi juga krisis moral di balik rantai industri yang mengabaikan keselamatan manusia demi keuntungan.
Dietilen glikol (DEG) merupakan zat kimia beracun yang biasanya digunakan dalam cairan pendingin, pelarut cat, dan bahan industri lainnya. Zat ini sangat berbahaya jika tertelan, karena dapat merusak ginjal, sistem saraf, dan hati. Dalam jumlah kecil sekalipun, DEG dapat menyebabkan gagal ginjal akut, kejang, dan kematian. Banyak kasus keracunan di negara berkembang terjadi karena kontaminasi bahan baku gliserin atau propilen glikol yang digunakan untuk membuat sirup obat. Dengan demikian, pengujian bahan baku menjadi langkah paling penting dalam memastikan keamanan produk farmasi. Namun, jika tahap ini diabaikan, akibatnya bisa fatal seperti yang kini terjadi di India.
“Baca juga: Ciri Tubuh Kekurangan Kalsium yang Perlu Diwaspadai, dari Kesemutan hingga Gangguan Mental“
Dalam pernyataannya, WHO menegaskan bahwa krisis ini bukan hanya masalah lokal, melainkan ancaman global. Obat-obatan yang diproduksi secara tidak higienis dapat masuk ke pasar internasional melalui jaringan distribusi yang tidak diawasi. Dengan status India sebagai salah satu eksportir utama obat generik, risiko penyebaran produk berbahaya ke negara lain sangat tinggi. WHO juga menyerukan setiap negara untuk memperketat pengawasan terhadap produk impor dari luar negeri dan memastikan setiap obat memiliki sertifikasi keamanan internasional sebelum digunakan oleh masyarakat.
Sebagai penulis yang mengikuti isu kesehatan global, saya melihat kasus ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan cermin dari kegagalan sistemik. Dunia selama ini terlalu bergantung pada obat murah dari India karena alasan efisiensi biaya. Namun, efisiensi tanpa keamanan adalah bom waktu. WHO dan otoritas nasional harus bekerja sama untuk membuat mekanisme audit global yang lebih ketat. Pemerintah India pun perlu melakukan reformasi besar-besaran terhadap industri farmasi domestiknya agar tragedi seperti ini tidak terus berulang. Dalam konteks kemanusiaan, keselamatan anak-anak seharusnya menjadi prioritas di atas kepentingan bisnis.
Tragedi obat batuk beracun di India menjadi pengingat pahit bahwa keselamatan pasien harus selalu menjadi fondasi utama industri farmasi. Kematian anak-anak akibat kelalaian produsen menunjukkan rapuhnya sistem pengawasan di negara dengan industri obat terbesar dunia. Jika tidak segera diperbaiki, krisis ini dapat mengikis kepercayaan global terhadap obat generik dari India. Dunia kini menatap India, menunggu langkah nyata untuk memastikan bahwa setiap obat yang keluar dari pabrik mereka benar-benar aman, bersih, dan manusiawi.