
Commons Sight – Pada awal 2025, Indonesia kembali diingatkan bahwa demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi ancaman besar bagi kesehatan publik. Data terbaru BPJS Kesehatan mengungkapkan bahwa lebih dari 166 ribu peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjalani perawatan akibat DBD hanya dalam setengah tahun pertama. Angka ini mencerminkan urgensi yang tidak bisa diabaikan. Terlebih lagi, lebih dari 50 persen kasus dialami oleh anak dan remaja di bawah usia 20 tahun, membuat masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap generasi muda yang lebih rentan. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, kondisi tersebut merupakan “konsekuensi luar biasa” yang menuntut aksi kolektif dan kesadaran masyarakat terhadap bahaya dengue.
Selain berdampak pada kesehatan, DBD menimbulkan tekanan besar terhadap pembiayaan kesehatan nasional. Sistem JKN menjadi garda terdepan dalam menanggung perawatan pasien. BPJS menjamin pemeriksaan hingga penanganan lanjutan sesuai kondisi klinis pasien, termasuk rujukan ke rumah sakit apabila diperlukan. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir soal pembiayaan selama penanganan mengikuti indikasi medis. Ketentuan ini menghapus kekhawatiran keliru bahwa DBD tidak dapat dirujuk melalui JKN. Melalui pendekatan komprehensif ini, BPJS ingin memastikan bahwa keluarga tidak kesulitan finansial ketika menghadapi situasi darurat kesehatan.
“Baca Juga : Bagaimana Diet Rendah Lemak Membantu Jantungmu Tetap Sehat“
Jika melihat data beberapa tahun terakhir, pola peningkatan pembiayaan DBD menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada 2021, BPJS menanggung Rp626 miliar untuk perawatan DBD. Setahun kemudian, biaya itu melonjak menjadi Rp1,39 triliun, lalu mencapai Rp1,26 triliun di 2023. Namun, lonjakan terbesar terjadi pada 2024 dengan total klaim mencapai Rp2,9 triliun untuk lebih dari satu juta kasus rawat inap. Tren ini menggambarkan betapa besar beban ekonomi yang harus ditanggung negara. Di sisi lain, peningkatan anggaran juga menandakan komitmen kuat BPJS dalam memastikan akses kesehatan merata tanpa batasan plafon biaya perawatan.
Untuk memberikan perlindungan maksimal, BPJS Kesehatan memastikan proses klaim berjalan cepat. Rata-rata biaya rawat jalan berkisar Rp200–300 ribu, sedangkan biaya rawat inap mencapai sekitar Rp4,5 juta per pasien. Menariknya, BPJS menyelesaikan klaim maksimal dalam 14 hari, sebagai bentuk kepastian pelayanan terhadap fasilitas kesehatan. Dengan sistem ini, misinformasi seputar kewajiban pasien pulang cepat tidak lagi relevan. BPJS memastikan bahwa durasi rawat inap sepenuhnya mengikuti indikasi medis, bukan aturan administratif. Sikap tegas ini merupakan bagian dari tanggung jawab institusi dalam menjaga kualitas layanan publik.
“Baca Juga : Snack Rendah Lemak untuk Diet Sehari-hari“
Dalam menghadapi ancaman DBD, strategi pencegahan tidak hanya menjadi tugas pemerintah. BPJS Kesehatan menggandeng akademisi, fasilitas kesehatan, hingga pelaku industri farmasi seperti Takeda Pharmaceuticals. Melalui edukasi publik, inovasi vaksin, serta peningkatan kesiapsiagaan fasilitas kesehatan, kolaborasi ini ditujukan untuk menekan angka kematian sekaligus mendorong target Zero Dengue Deaths 2030. Menurut Derek Wallace, President Global Vaccine Unit Takeda, dunia menghadapi lebih dari 7,6 juta kasus dengue dengan 3.000 kematian pada 2024, sehingga kolaborasi lintas sektor menjadi strategi penting menjaga keselamatan masyarakat, terutama saat musim hujan dan perubahan iklim memperbesar risiko penularan.
Hingga saat ini, Indonesia berhasil memberikan sinyal positif dengan pengendalian kasus yang lebih stabil dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, masyarakat tetap perlu berperan aktif melalui langkah-langkah sederhana, mulai dari menjaga kebersihan lingkungan, menghilangkan genangan air, hingga memastikan keluarga mendapatkan akses informasi kesehatan yang kredibel. Seperti ditegaskan pemerintah dan BPJS, penanganan dengue bukan sekadar soal biaya kesehatan, tetapi tentang membangun sistem pencegahan jangka panjang yang melibatkan seluruh unsur bangsa.