Jawa Barat Catat Rekor Utang Pinjol Tertinggi, Tembus Rp20,2 Triliun
Commons Sight – Fenomena utang pinjaman online atau pinjol di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, terutama di Jawa Barat. Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jawa Barat mencatat utang belum terlunasi di fintech P2P lending sebesar Rp20,25 triliun per April 2025. Angka ini menempatkan provinsi tersebut sebagai pemegang rekor tertinggi di antara seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah rekening aktif mencapai 6,57 juta akun dan tingkat kredit macet sebesar 3,72 persen.
Tak jauh di belakang, DKI Jakarta menempati posisi kedua dengan total pinjaman pinjol senilai Rp12,62 triliun. Jumlah tersebut tersebar ke 2,65 juta rekening aktif dan tingkat kredit macet sebesar 3,1 persen. Sementara itu, Jawa Timur berada di posisi ketiga dengan nilai pinjaman mencapai Rp10,05 triliun, tersebar pada 2,92 juta rekening aktif, dengan tingkat gagal bayar 3,02 persen. Ketiganya menjadi wajah nyata dari tingginya ketergantungan masyarakat terhadap layanan pinjaman digital.
Baca Juga : Denny Sumargo Tolak Usulan Netizen Jadi Menpora, Sebut Dirinya Tak Layak
Di bawah tiga besar, terdapat Jawa Tengah yang mencatatkan outstanding pinjaman sebesar Rp6,7 triliun, disalurkan kepada 2,53 juta akun aktif. Tingkat kredit macet di provinsi ini mencapai 3,32 persen. Banten berada di urutan kelima dengan total pinjaman online Rp5,98 triliun, disalurkan ke 1,67 juta akun, dan tingkat kredit macet lebih rendah, yaitu 2,27 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa mendominasi angka utang digital nasional.
Dominasi Jawa Barat dalam statistik pinjol bukan hal baru. Bahkan pada Juli 2024, provinsi ini telah mencatat penyaluran pinjaman sebesar Rp7,1 triliun hanya dalam satu bulan. Dana tersebut tersebar kepada 3,6 juta akun aktif. Lebih jauh, sejak awal 2024, penyaluran pinjaman ke wilayah ini tidak pernah di bawah angka Rp5,6 triliun, mencerminkan lonjakan permintaan yang terus berlanjut.
Menanggapi fenomena ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap gaya hidup warganya. Menurutnya, sulit untuk melarang masyarakat meminjam uang. Namun, ia berharap masyarakat bisa menahan diri dan tidak memaksakan kebutuhan konsumtif yang berujung pada utang digital. “Kalau enggak punya duit, jangan maksain belanja,” tegas Dedi saat diwawancarai di Gedung Pakuan, Bandung.
Banyaknya rekening aktif yang tercatat di Jawa Barat menandakan adanya ketergantungan besar masyarakat terhadap layanan pinjaman online. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kebutuhan darurat hingga keinginan memenuhi gaya hidup. Sayangnya, ketergantungan tersebut tidak diiringi dengan kemampuan pembayaran yang baik, terbukti dari angka kredit macet yang cukup tinggi di atas 3 persen.
Tingginya angka utang dan kredit macet juga menjadi alarm bagi para pemangku kepentingan untuk segera memperkuat edukasi keuangan digital. Masyarakat harus diberi pemahaman tentang risiko pinjol, bunga tinggi, serta konsekuensi hukum dan sosial dari gagal bayar. Tanpa edukasi yang memadai, pinjol bisa menjadi jebakan finansial yang terus menjerat rumah tangga.
Budaya konsumtif yang melekat kuat di kalangan masyarakat urban dan semi-urban menjadi akar dari tingginya penggunaan layanan pinjol. Gaya hidup instan, tren gaya hidup mewah di media sosial, dan kemudahan mengakses dana cepat membuat banyak orang tergoda untuk berutang. Gubernur Jabar sendiri menyebut hal ini sebagai pola pikir yang harus diubah dari akar.
Tingginya tingkat kredit macet di beberapa provinsi, termasuk Jawa Barat, menunjukkan bahwa banyak peminjam tidak mampu melunasi kewajibannya. Ini bisa berdampak sosial serius, mulai dari tekanan mental, konflik rumah tangga, hingga ancaman dari penagih utang yang agresif. Dalam jangka panjang, kondisi ini juga dapat mengganggu stabilitas ekonomi lokal.
Sebagai regulator, Otoritas Jasa Keuangan perlu lebih aktif dalam mengawasi praktik penyaluran pinjaman digital. Meski legal dan terdaftar, banyak platform pinjol yang masih menerapkan bunga tinggi dan penagihan yang tidak manusiawi. Selain pengawasan ketat, OJK juga harus memperkuat literasi keuangan masyarakat, terutama di provinsi-provinsi dengan utang tertinggi.
Solusi terhadap maraknya utang pinjol tidak bisa hanya bergantung pada OJK atau fintech saja. Pemerintah daerah seperti Jawa Barat perlu berkolaborasi dalam menyusun program literasi keuangan, menciptakan alternatif pembiayaan mikro berbunga rendah, dan mendorong pola konsumsi yang sehat. Edukasi harus dilakukan secara massif dan berkelanjutan, khususnya di kalangan milenial dan pekerja informal.
Data yang dipaparkan oleh LPBBTI dan OJK menjadi bahan penting untuk menyusun kebijakan fiskal dan sosial ke depan. Pemerintah pusat dan daerah dapat menggunakan data ini untuk memahami pola konsumsi masyarakat, menganalisis risiko ekonomi, dan menyusun strategi penanggulangan utang masyarakat secara terukur dan tepat sasaran.
Banyak pinjol yang mempromosikan layanan mereka melalui media sosial dengan narasi instan dan manipulatif. Hal ini perlu diatur lebih ketat oleh pemerintah dan platform digital agar tidak semakin mendorong perilaku konsumtif masyarakat. Narasi misleading seperti “pinjam sekarang, bayar nanti” sering menyesatkan pengguna muda dan kurang berpengalaman.
Meskipun saat ini pinjol masih menjadi solusi cepat bagi banyak masyarakat, masa depan industri ini perlu dikaji ulang. Penguatan regulasi, pembatasan bunga, dan edukasi masif akan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem pinjol yang sehat dan berkelanjutan. Jika tidak, utang konsumtif akan terus meningkat dan menjadi bom waktu sosial-ekonomi.
Lonjakan utang pinjol di Jawa Barat harus menjadi peringatan serius bagi semua pihak. Gaya hidup konsumtif dan kemudahan akses kredit tanpa edukasi finansial dapat menjadi bumerang. Hanya dengan sinergi antara regulator, pemerintah daerah, dan masyarakat, krisis pinjaman digital ini bisa diredam. Saatnya mengedepankan literasi, bukan sekadar akses.