Commons Sight – Industri Nuklir Indonesia atau Inuki adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang teknologi nuklir. BUMN ini berada di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak terjadinya restrukturisasi kelembagaan. Namun, sejak tahun 2022, aktivitas Inuki tampak mandek dan tidak menunjukkan geliat berarti. Tidak ada peluncuran produk baru, kerja sama internasional, ataupun inovasi teknologi signifikan. Hal ini mengundang tanda tanya publik. Apa sebenarnya fungsi dari BUMN ini? Mengapa keberadaannya seperti tenggelam? Dan apakah masih relevan dalam konteks energi dan teknologi saat ini?
Inuki berdiri dengan nama awal PT Batan Teknologi. Perusahaan ini dibentuk sebagai sarana komersialisasi hasil riset Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Sejak awal, tujuannya adalah memproduksi dan memasarkan produk berbasis teknologi nuklir. Produk-produk tersebut meliputi radioisotop untuk keperluan medis, industri, hingga pertanian. Pada tahun 2010, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Industri Nuklir Indonesia atau Inuki. Dengan perubahan ini, pemerintah ingin memperluas cakupan bisnisnya, tak hanya terbatas pada hasil riset tetapi juga produksi massal dan ekspor.
“Baca Juga : Bagaimana Kolaborasi PBNU dan Danone Meningkatkan Industri Halal?”
Salah satu kontribusi penting Inuki adalah dalam bidang medis, terutama dalam penyediaan radioisotop. Produk ini digunakan untuk keperluan diagnostik dan terapi kanker. Selain itu, Inuki juga menyediakan iradiator untuk sterilisasi alat kesehatan dan produk pangan. Di sektor industri, teknologi nuklir juga dimanfaatkan dalam pengujian material dan peningkatan kualitas produk. Peran ini sebenarnya cukup strategis karena tidak banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kemampuan produksi radioisotop. Namun, minimnya sosialisasi dan promosi membuat publik kurang menyadari kiprah BUMN ini.
Sejak integrasi Batan ke dalam BRIN dan reorganisasi beberapa lembaga riset, Inuki seperti kehilangan arah. Tidak ada lagi kabar mengenai pengembangan fasilitas baru atau kerja sama strategis dengan institusi riset luar negeri. Beberapa proyek bahkan dikabarkan berhenti karena ketiadaan anggaran dan kejelasan arah. Sumber daya manusia yang semula fokus pada pengembangan teknologi, kini lebih banyak bergeser ke peran administratif. Perubahan struktur birokrasi juga menyebabkan proses perizinan dan pengambilan keputusan menjadi lebih lambat dari sebelumnya.
“Simak juga: Teknologi Terbaru dalam Pemantauan Kesehatan Jemaah Haji”
Inuki menghadapi tantangan regulasi yang tidak ringan. Produk berbasis nuklir harus melalui pengawasan ketat dari otoritas seperti BAPETEN dan Kementerian Kesehatan. Selain itu, pasar untuk radioisotop dan produk nuklir lainnya juga sangat terbatas dan kompetitif. Di tingkat global, perusahaan seperti Rosatom (Rusia) dan NTP (Afrika Selatan) menguasai pangsa pasar yang besar. Dalam situasi ini, Inuki harus bersaing dalam hal kualitas, harga, dan ketepatan waktu distribusi. Sayangnya, dengan kondisi internal yang stagnan, sulit bagi BUMN ini untuk bisa bertahan dalam pasar yang kompetitif itu.
Indonesia memang belum mengembangkan energi listrik dari nuklir secara komersial. Namun, wacana mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) selalu muncul dalam diskusi energi nasional. Jika pemerintah serius mengembangkan PLTN, Inuki bisa berperan sebagai penyedia komponen atau teknologi pendukung. Meski demikian, untuk mengambil posisi itu, Inuki harus melakukan transformasi besar-besaran. Saat ini, infrastruktur dan tenaga ahli belum cukup kuat untuk menangani proyek sebesar PLTN. Maka dari itu, investasi besar dibutuhkan jika ingin menjadikan Inuki sebagai pemain utama.
Salah satu langkah penting adalah membangun sinergi yang erat dengan lembaga riset dan sektor swasta. Inuki bisa menjadi jembatan antara riset dan industri. Inovasi yang dihasilkan di laboratorium bisa dikomersialkan melalui jaringan produksi Inuki. Selain itu, kerja sama dengan swasta juga penting untuk mendanai riset dan pengembangan produk. Misalnya, perusahaan rumah sakit bisa bermitra dengan Inuki untuk mengembangkan radioisotop baru yang lebih efektif. Bentuk kolaborasi semacam ini akan mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dan mempercepat proses inovasi.
Banyak pihak berharap agar Inuki tidak hanya bangkit, tetapi juga berevolusi menjadi perusahaan teknologi modern. Pemerintah perlu memberi kejelasan arah dan anggaran. Selain itu, perlu juga dilakukan perbaikan struktur manajemen agar lebih lincah dalam merespons peluang pasar. Jika dikelola dengan baik, Inuki bisa menjadi pusat unggulan teknologi nuklir di kawasan Asia Tenggara. Apalagi kebutuhan radioisotop medis dan teknologi iradiasi diperkirakan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Momentum ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia melalui Inuki.
Kinerja Inuki seharusnya dievaluasi secara terbuka. Publik berhak tahu sejauh mana capaian dan kendala yang dihadapi. Jika memang ada kekosongan arah, maka pemerintah perlu memberikan mandat baru yang lebih jelas. Misalnya, memperluas lingkup bisnis ke teknologi energi baru dan terbarukan. Atau bahkan menjadi penyedia perangkat pengujian material berbasis nuklir untuk industri manufaktur. Semakin spesifik mandatnya, semakin mudah pula bagi manajemen Inuki untuk merancang strategi pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Salah satu tantangan dalam pengembangan teknologi nuklir adalah ketakutan publik. Banyak masyarakat masih mengasosiasikan nuklir dengan bahaya radiasi dan bencana seperti Chernobyl. Oleh karena itu, edukasi publik perlu dilakukan secara terus-menerus. Inuki bisa berperan dalam menjelaskan manfaat nuklir secara sederhana dan menarik. Mereka juga bisa mengadakan pelatihan atau roadshow ke sekolah dan universitas. Dengan begitu, ketakutan bisa dikikis dan kepercayaan terhadap teknologi ini bisa tumbuh. Hal ini penting agar dukungan publik terhadap pengembangan nuklir bisa meningkat secara signifikan.