
Commons Sight – Ambisi ganggu mental kini menjadi topik yang semakin relevan setelah Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyoroti meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan generasi muda. Ia menyebut banyak kasus sebenarnya sudah muncul sejak usia sekolah, tetapi gejalanya kerap tidak terlihat karena sering dianggap biasa. Menurutnya, tekanan akademik, keinginan untuk selalu unggul, dan tuntutan sosial yang semakin tinggi mendorong banyak anak muda memaksakan diri melampaui batas kemampuan. Budi lalu mengingatkan agar generasi muda lebih bijak mengelola pikiran, mulai dengan mengurangi stres, tidak membebani diri dengan target terlalu besar, hingga membiasakan meditasi. Pesan tersebut hadir sebagai refleksi bahwa ambisi, jika tidak diimbangi kesadaran diri, dapat menjadi pemicu utama ketidakstabilan mental.
Ambisi ganggu mental dijelaskan lebih jauh oleh psikolog Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal, yang menegaskan bahwa ambisi pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk. Ambisi justru dapat menjadi energi positif untuk mendorong perkembangan diri, memupuk produktivitas, dan mencapai tujuan. Namun, Danti mengingatkan bahwa ambisi bisa berubah menjadi ancaman ketika tidak dikelola dengan sehat. Ketika seseorang terlalu terpaku pada hasil dan mengabaikan proses, tekanan internal meningkat dan ruang untuk beristirahat menyempit. Kondisi ini kemudian memicu stres kronis, munculnya kecemasan, hingga menurunnya kemampuan mengendalikan emosi. Melalui penjelasan tersebut, semakin terlihat bahwa ambisi memerlukan keseimbangan agar tidak berubah menjadi beban psikologis yang merusak.
“Baca Juga : Sering Makan Ramen Bisa Berbahaya, Ini Temuan Studi di Jepang”
Ambisi ganggu mental dapat berubah menjadi toxic ambition ketika seseorang mendorong diri melampaui batas tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pribadi. Danti menggambarkan kondisi ini sebagai pola pikir yang menuntut diri untuk selalu produktif, cepat mencapai tujuan, dan tidak menerima kegagalan. Pola tersebut menciptakan tekanan mental berkepanjangan karena tubuh dan pikiran dipaksa terus berada dalam mode kerja. Akibatnya, individu lebih rentan mengalami burnout, rasa lelah emosional, serta pikiran negatif yang sulit dikendalikan. Selain itu, perfeksionisme ekstrem yang sering muncul dalam toxic ambition dapat menimbulkan rasa tidak pernah puas, sehingga pencapaian apa pun terasa kurang memadai.
Ambisi ganggu mental tidak hanya menyerang dari dalam, tetapi juga memengaruhi hubungan sosial. Danti menjelaskan bahwa ketika seseorang terlalu fokus pada keberhasilan, ia berisiko mengabaikan interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Tekanan untuk selalu produktif membuat waktu untuk keluarga dan teman semakin sempit, sehingga jarak emosional mulai terbentuk. Selain itu, komunikasi bisa menjadi tegang karena individu yang berambisi berlebihan cenderung sensitif terhadap kritik. Kondisi ini membuat lingkungan sosial terasa tidak nyaman, padahal dukungan sosial penting untuk menjaga stabilitas mental. Dampak berantai inilah yang membuat toxic ambition tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga hubungan yang menopang kehidupan sehari-hari.
“Baca Juga : Vaksin RSV untuk Ibu Hamil: Perlindungan Awal bagi Bayi dari Infeksi Pernapasan”
Ambisi ganggu mental semakin mudah terjadi ketika seseorang menetapkan terlalu banyak tujuan dalam waktu singkat. Menurut Danti, kebiasaan memaksakan diri untuk mencapai target yang tinggi secara bersamaan menciptakan tekanan mental yang konstan. Individu merasa harus bergerak cepat, tidak boleh salah, dan terus bekerja meskipun kapasitasnya menurun. Pola ini membuat tubuh jarang beristirahat, sehingga sistem saraf berada dalam keadaan tertekan. Lama-kelamaan, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan, penurunan motivasi, dan hilangnya fokus. Dengan memahami bahaya ini, masyarakat diharapkan lebih bijak dalam menyusun tujuan, terutama dengan mempertimbangkan kesehatan mental sebagai prioritas utama.
Ambisi ganggu mental sebenarnya dapat dicegah jika seseorang mampu mengelola ambisinya secara tepat. Danti menyarankan agar setiap individu menyusun tujuan secara realistis dan tidak terlalu banyak menuntut diri dalam satu waktu. Selain itu, penting pula memberikan ruang istirahat untuk menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan emosional. Mengakui batas diri bukanlah kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan dalam menjaga kesehatan mental. Dengan terus membangun kesadaran diri dan memprioritaskan kesejahteraan, ambisi dapat menjadi pendorong positif tanpa menyebabkan tekanan berlebih. Semangat untuk berkembang tetap penting, tetapi harus disertai kemampuan untuk berhenti sejenak dan memahami apa yang benar-benar dibutuhkan tubuh dan pikiran.