Commons Sight – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, baru-baru ini mengungkapkan faktor penyebab rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Menurut Perry, salah satu penyebab utama pelemahan ini adalah perubahan politik yang terjadi di Amerika Serikat, khususnya pasca-pemilihan umum yang memengaruhi preferensi investor global.
Perry menjelaskan bahwa setelah pemilu di AS. Terjadinya perubahan preferensi investor global yang mulai memindahkan alokasi portofolio mereka kembali ke pasar AS. Keputusan ini mengakibatkan penguatan dolar AS secara luas. “Perubahan politik di AS telah berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS secara luas,” kata Perry.
Kondisi ini berimbas pada banyak negara, termasuk Indonesia, di mana banyak investor asing menarik dana mereka dari pasar negara berkembang (emerging markets) untuk diparkir kembali di AS. Hal ini menyebabkan tekanan yang lebih besar terhadap nilai tukar mata uang di seluruh dunia, termasuk rupiah.
“Baca juga: Krisis Perbankan Lokal? Alasan di Balik Tutupnya 137 Bank di Indonesia”
Data yang tercatat hingga 19 November 2024 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah melemah sebesar 0,84% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Jika dilihat dari posisi akhir tahun 2023, rupiah mengalami depresiasi sekitar 2,74% terhadap dolar AS. Meski demikian, Perry menilai bahwa pelemahan rupiah ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan sejumlah mata uang lainnya di Asia.
Sebagai contoh, mata uang Taiwan, peso Filipina, dan won Korea tercatat mengalami depresiasi yang lebih dalam. Dolar Taiwan terdepresiasi hingga 5,26%, peso Filipina 5,83%, dan won Korea 7,53%. Menurut Perry, pelemahan rupiah yang lebih kecil ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjaga stabilitas lebih baik daripada negara-negara lain yang mengalami tekanan serupa.
“Simak juga: Melonjak Tajam! Pengguna QRIS di Indonesia Tumbuh 183,9% Menurut Data BI Oktober 2024”
Meski ada tekanan yang dihadapi oleh rupiah, Perry optimis bahwa nilai tukar rupiah ke depan akan lebih stabil. Bank Indonesia, ujar Perry, berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui berbagai instrumen moneter yang tersedia. Salah satu langkah yang akan diambil BI adalah dengan terus mengoptimalkan intervensi di pasar spot dan forward, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Selain itu, Perry juga menekankan pentingnya penguatan strategi operasi moneter pro-market untuk mendukung aliran investasi portofolio asing. Salah satunya melalui instrumen seperti SRBI (Strategic Reserve Bank Indonesia), SVBI (Sukuk Valuta Negara), dan SUVBI (Sukuk Valuta Bank Indonesia) yang dapat memperkuat efektivitas kebijakan moneter dalam menarik investasi asing.
“Dengan langkah-langkah ini, kami yakin bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, meski terdapat tekanan eksternal,” kata Perry.
Selain kebijakan moneter, Bank Indonesia juga berfokus pada menjaga inflasi yang rendah dan mempertahankan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik. Faktor-faktor ini diharapkan dapat mendukung penguatan rupiah dan memberikan daya tarik bagi investor asing untuk kembali menanamkan modal di Indonesia.
Dengan langkah-langkah yang terus dilakukan Bank Indonesia, diharapkan nilai tukar rupiah dapat kembali stabil dan memperkecil dampak dari perubahan ekonomi global yang sedang berlangsung.